Jumat, 28 Desember 2018

Aisyul Bahri, Kitab Ulama Batang yang Hilang



Kitab Aisyul Bahri karya Kiai Anwar Batang ini menjelaskan tentang hewan-hewan yang hanya hidup di laut (air), dan hewan yang hidup di laut dan darat, beserta status hukum mengonsumsinya.

Kitab ini pertama kali penulis dengar dari Kiai Dimyati Rois Kaliwungu. Kiai yang juga petani sekaligus politisi ini, dalam beberapa kali ceramahnya, mengisahkan, bahwa Kiai Anwar Batang itu satu masa dengan Kiai Nawawi Banten dan Kiai Kholil Bangkalan.

Bahkan, menurut Abah Dem (panggilan santri dan masyarakat kepada beliau) pernah terjadi pertemuan para ulama di rumah Kiai Anwar Batang di Alas Roban, yang dihadiri oleh Kiai Nawawi Banten beserta ulama Banten, Kiai Kholil Bangkalan beserta ulama Bangkalan dan Kiai Anwar Batang beserta ulama Batang.

Pertemuan itu terjadi kira-kira lima puluh tahun sebelum kemerdekaan Indonesia.
Kitab ini, kata Kiai Ubaid Sodaqoh Bugen Semarang di Acara Konfercab NU Batang 2018, juga pernah menjadi rujukan dalam menentukan status hukum kepiting, dalam bahsul masail di Pondok Ploso Kediri, beberapa tahun silam.

Status hukum hewan kepiting menjadi awal pembahasan kitab yang halamannya tak mencapai seratus. Kiai Dimyati, dalam ceramahnya, sering bercerita bahwa kepiting menurut Kiai Anwar Batang itu halal.

Bersandar pada Data Empiris
Kiai Anwar, dalam karyanya ini, tak langsung memberikan status hukum, apakah ini halal atau haram, tapi beliau terlebih dahulu, menjelaskan bentuk fisik, dan cara hewan-hewan tersebut hidup. Apakah termasuk katagori hewan yang hanya hidup di laut (air) atau hidup di laut dan sekaligus di darat.

Saat menjelaskan kepiting, Kiai Anwar menggunakan redaksi “al-kepitingu”, dan menerangkan, bahwa kepiting itu adalah hewan yang hanya hidup di laut. Bentuknya mirip dengan hewan rajungan. Memiliki enam kaki dan dua capit. Punya beberapa kuku tapi tanpa cakar (tidak tajam). Memiliki alat untuk mengambang atau berenang di beberapa kaki bagian belakang, dan mampu mengambang atau berenang.

Kiai Anwar juga menjelaskan, dinamakan kepiting karena hewan tersebut diikat setelah ditangkap, supaya tidak mencapit penangkapnya. Salah satu polah kepiting adalah mencapit penangkapnya secara spontan dan kuat.

Kepiting bisa bertempat di air laut yang asin dan air tawar. Terkadang kepiting bisa didapatkan di laut atau di leng (lubang) pinggiran telaga atau sungai. Di dalam leng yang ditempati kepiting terdapat air. Kepiting menempatinya baik malam atau siang hari—menurut salah satu teman yang bekerja di tambak, kepiting biasanya bisa ditemukan di semak-semak tetumbuhan mangrove di tambak.

Ketika ada makanan di depannya, kepiting menangkapnya dengan capit dan menarik makanan itu ke dalam mulutnya. Kepiting tidak muncul ke darat, kecuali untuk sebuah tujuan seperti berputar-putar untuk lewat saja, dan itu pun hanya terjadi dalam waktu yang sebentar

Aku telah menyaksikannya berkali-kali. Kepiting merupakan hewan yang menetap di air, tempat makan dan mencari makannya (mar’a) juga di air, tulis Kiai Anwar.

Menurut Kiai Anwar, kepiting tak bisa hidup di darat, kalau pun hidup di darat, itu pun tak lama. Maka dengan penelitiannya itu, Kiai Anwar tak ragu sama sekali, mengategorikan kepiting sebagai hewan yang hanya hidup di air. Karena itu halal hukumnya.

Cara Kiai Anwar di atas bisa dikatakan sebagai metode empiris yang bersandar pada data lapangan. Ia menolak pendapat yang mengatakan haramnya kepiting. Pendapat yang demikian itu, menurutnya tak memiliki dasar.

Dengan bersandar pada pendapat Imam Syafi’i yang berpandangan bawah hewan yang hanya hidup di air itu boleh di makan, Kiai Anwar dengan hasil penelitiannya, menyimpulkan bahwa kepiting boleh dimakan, karena hanya bisa hidup di air.

Kritik Kiai Anwar ini bukanlah kritik atas pemahaman teks saja, melainkan kritik atas klasifikasi atau kategorisasi hewan-hewan laut atau darat sekaligus laut berdasarkan data lapangan. Kiai Anwar tak setuju dengan pendapat yang menyamakan kepiting dengan hewan sarathan (bahasa Arab), yang dalam kitab kuning diberi label hukum haram.

Menurutnya, sarathan memiliki delapan kaki, tapi tak memiliki alat berenang seperti kepiting. Terdapat cakar pada kukunya (kuku tajam), sedangkan kepiting tidak. Sarathan bisa hidup di darat secara langgeng (hayyun daimun), berbeda dengan kepiting yang hanya sebentar (hayyun mazbuhun atau hanyyun la yadum).

Metode seperti di atas diterapkannya pula dalam pembahasan hewan-hewan seperti bulus, timsah (buaya), sulahfah (dalam kamus al-Munawir bermakna kura-kura dan penyu.

Kiai Anwar membedakan bulus dengan sulahfah, jirits (menurut Kiai Anwar bahasa Jawanya itu welut, bahasa Melayunya belut), hayya (ular) dan lain sebagainya.

Respons atas Wacana yang Beredar
Tampaknya kitab ini ditulis sebagai respons atau kritik atas wacana yang beredar perihal haramnya hewan-hewan seperti kepiting, karena dianggap hewan yang hidup di dua alam atau dianggap sebagai sarathan—kalau kita melihat kamus al-Munawir dan beberapa makna kitab kuning, sarathan dimaknai kepiting.

Hal itu tercermin dari cara Kiai Anwar menyampaikan pendapatnya dalam kitabnya. Sebagaimana telah disinggung di atas, Kiai Anwar berusaha membuktikan bahwa kepiting ini hanya hidup air, juga menjelaskan secara detail bahwa kepiting itu beda dengan sarathan.

Kiai Anwar juga menulis, sebab meluasnya kabar hukum haramnya kepiting sampai ke tempat-tempat jauh sana, lantaran ada penjelasan perihal itu dalam kita Majmu’ul Jawi. Lalu sebab ada yang mengatakan bahwa kepiting itu sarathan, tanpa disertai dalil atau bukti dan memberi label haram, yang akhirnya membuat orang-orang awam mengikuti pendapat itu. Padahal itu hanya rumor belaka, yang tak bisa dibuat pegangan.

Orang yang berpendapat bahwa kepiting termasuk kategori hewan yang hidup di darat, itu timbul dari sangkaan (wahm) belaka, sebagaimana sebuah cerita, ada seorang guru (syekh) dan murid-muridnya suatu ketika berjalan di pinggiran sungai atau telaga, lalu terlihat seekor kepiting berputar-putar di pinggiran sungai itu dalam waktu yang sebentar.

Kemudian guru itu menyangka bahwa kepiting termasuk hewan yang bisa hidup di darat, yang hukumnya haram, kemudian disampaikan kepada murid-muridnya.

Yang demikian, menurut Kiai Anwar tak bisa dijadikan pijakan, karena tak ada dalil atau bukti yang kuat. “Dia (syaikh/guru dalam cerita di atas) tak mengetahui macam-macam hewan laut” jelas Kiai Anwar.

Perdebatan tentang halal atau haramnya kepiting kelihatannya mencapai taraf yang sangat sengit pada waktu itu. Kiai Anwar menyebutkan sesuatu, yang mengindikasikan ada yang sampai menilai murtad bagi yang menghalalkan kepiting.

Begitulah sekilas tentang Kiai Anwar dan kitabnya yang telah lama hilang dari dunia pesantren. Naskah paling lama yang penulis temukan adalah scan dari kitab Asyul Bahri milik Kiai Basyir Jekulo Kudus.

Di sampul depan kitab Aisyul Bahri tertulis, bahwa penerbitan kitab ini sudah mendapatkan ijin dari Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Muhammad Faqih al-Kumambani (kemungkinan yang dimaksud adalah Kiai Muhammad Faqih Maskumambang).

Di halaman terakhir, Kiai Anwar menjelaskan, risalah ini selesai ditulis pada malam Ahad bulan Sofar 1339 H. (bertepatan dengan 1918 M).

Pada bagian sebelum akhir kitab ini, Kiai Anwar mencantumkan bab berjudul faidah-faidah agung nan berkah, yang berisi tentang doa-doa seperti doa supaya hajat terkabul dan hilangnya kesusahan.

Sekarang kitab ini dicetak ulang oleh Pesantren Darul Ulum Tragung Kandeman Batang. Untuk membaca kitab ini penulis minta bantuan teman yang rumahnya dekat dengan pesisir dan akrab dengan dunia tambak. Penulis yang tanpa pengetahuan tentang hewan-hewan yang hidup di laut (air) atau di laut dan di darat ini merasa kesulitan membayangkan bentuk hewan-hewan tersebut.

Keterangan detail ciri-ciri fisik dan polah kebiasaan hewan-hewan dalam kitab ini mengindikasikan, selain ulama, Kiai Anwar adalah seorang yang paham betul dengan kehidupan pesisir. Mungkin juga beliau itu nelayan, atau petani?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adbox